728x90 AdSpace

Latest News
Kamis, 20 Agustus 2015

Paguyuban Sumarah

Sejarah Paguyuban Sumarah

Paguyuban Sumarah didirikan di Yogyakarta pada tahun 1950 oleh Dokter Soerono Prodjohoesodo, yang sejak itu hingga tahun 1972 menjabat sebagai ketua umumnya. Tetapi ajaran Sumarah, yaitu ilmu Sumarah, sudah diwahyukan pada tahun 1935 kepada R. Ng. Soekinohartono, seorang pegawai Kesultanan Yogyakarta. Pada waktu itu, demikian menurut kisahnya, bangsa Indonesia bergolak menuntuk perbaikan nasib, yaitu menuntuk dibentuknya suatu parlemen yang sungguh-sugguh. R. Ng. Soekirnohartono turut prihatin memikirkan nasib bangsa Indonesia. dengan jalan tirakat (bertarak) beliau mohon kepada Tuhan agar bangsa Indonesia selekas mungkin mendapat kemerdekaan. Pada suatu malam, beliau menerima ilham supaya menyebarkan ilmu Sumarah kepada umat manusia. Mula-mula beliau menolak, akan tetapi setelah beliau mendapat penjelasan bahwa beliau hanya akan bertindak sebagai corong belaka, diterimalah perintah ilham itu, dengan syarat “kemerdekaan Indonesia” sebagai upahnya. Syarat tersebut disanggupkan oleh Tuhan Yang Mahaesa, sekalipun baru 10 tahun kemudian “kemerdekaan” itu benar-benar diberikan kepada bangsa Indonesia.
Menurut Dokter Soerono, ilmu Sumarah adalah suatu ilmu kebatinan yang dengan jalan sujud Sumarah (menyerahkan diri) mempelajari sampai tercapai bersatunya jiwa dengan Dzat Yang Mahaesa.
Selanjutnya dikemukakan bahwa ilmu sumarat itu diajarkan menurut sistem pamong (pengasuhan), bukan menurut sistem paguron (perguruan) seperti pada zaman dulu. Menurut Dokter Soerono, pengajaran disesuaikan dengan keadaan zaman, artinya ajaran itu diajarkan bertingkat seperti Perguruan Tinggi, yaitu tingkat persiapan (pemagang) tingkat I, II, III, IV, dan V. Mereka yang sudah mencapai tingkat V mendapat gelar sarjana muda, sedang yang lulus dari tingkat V mendapat gelar doktorandus dalam ilmu Sumarah.
Menurut anggaran dasarnya, tujuan Paguyuban Sumarah adalah mencapai ketenteraman lahir batin, dengan usaha: a) memberi tuntunan kepada anggotanya untuk melaksanakan “sesanggeman” (tugas, kesanggupan); b) ikut serta menegakkan negara menuju dunia yang damai; c) membimbing keutamaan kehidupan lahir anggotanya dalam masyarakat.
Semua pertemuan paguyuban Sumarah hampir seluruhnya terdiri dari meditasi (merenung). Ada pertemuan yang diadakan bagi umum, artinya baik anggota maupun tidak dan ada pertemuan yang hanya untuk para anggota saja.
Pokok ajaran paguyuban Sumarah adalah sujud. Di kalangan ini diterangkan sebagai “persekutuan dengan Tuhan.” Orang harus melatih diri untuk bersujud hingga mencapai sujud Sumarah, yaitu persekutuan dengan Tuhan dengan cara menyerah. Orang dikatakan “usdah mencapai sujudu Sumarah,” jika ia berhasil mempersatukan angan-angan, rasa, dan budi (nur , urip, yakni hidup).
Sebelum orang dapat diterima sebagai mahasiswa, ia harus diuji terlebih dulu. Kepadanya dibacakan “akta kesanggupan,” yang disebut sesanggeman, dan terdiri dari 9 pasal, yaitu: 1) kepercayaan kepada Allah dan nabi-nya serta kitab-kitab-nya; 2) kesanggupan untuk senantiasa ingat kepada Allah, menjauhkan diri dari rasa mengaku (menyatakan berhak atas segala sesuatu), kumingsun (sombong), dan percaya pada kesunyatan dan sujud Sumarah kepada Allah; 3) berusaha bagi kesehatan badan, ketenteraman hati dan kesucian roh, serta pembangunan watak percakapan dan tindakan; 4) mempererat persaudaraan berdasarkan kasih; 5) sanggup berusaha untuk mengembangkan kewajiban hidup dalam masyarakat dan negara yang akan menghasilkan perdamaian dunia; 6) sanggup bertindak benar, menaati undang-undang negara dan menghargai sesamanya; 7) menjauhkan diri dari perbuatan jahat; 8) rajin berusaha meluaskan pengetahuan lahir batin; 9) tidak fanatik, hanya percaya pada kesunyatan yang berfaedah bagi masyarakat. Bila orang itu menyatakan kesanggupannya, segera diadakan latihan sujud, yang diimami oleh pamong pemagang.
Latihan pertama terdiri dari “menenangkan pancaindra.” Jika kemenangan sudah tercapai, orang dinaikkan ke tingkat I melalui sumpah, yaitu mengucapkan sahadat pertama di bawah pimpinan mahasiswa tingkat V. Dengan demikian, orang itu telah di-beat (dipelonco) dan diterima resmi menjadi mahasiswa.  Dalam latihan sujud pada tingkat V, diberikan juga kuliah oleh apa yang disebut “warono,” yaitu pemimpin umum yang dianggappnya sebagai corong Tuhan Yang Mahaesa. Yang memberikan kuliah tersebut adalah Dzat Yang Mahaesa sendiri, sehingga Warono tidak mengetahui terlebih dulu apa yang akan dikuliahkan. Semua kuliah itu biasanya mengenai wewarah (ajaran) yang berhubungan dengan ilmu Sumarah.
Demikianlah, paguyuban Sumarah itu dipandang sebagai suatu tempat latihan sujud. Hanya perlu diperhatikan bahwa sujud dalam paguyuban Sumarah berarti “persekutuan dengan Allah.”

Ajarah Paguyuban Sumarah 

Ajaran Sumarah tentang Tuhan

Sudah dikemukakan di atas bahwa paguyuban Sumarah termasuk aliran kebatinan yang sederhana, suatu tempat latihan sujud atau persekutuan dengan tuhan. Di dalamnya tidak ada ajaran yang panjang lebar tentang Allah. Bahwa tuhan Allah ada, diterimanya tanpa mengadakan pembicaraan tentang dia. Tuhan Allah disebut “tuhan yang mahaesa.” Di tempat lain tuhan juga disebut “Dzat Yang Mahaesa,”  yang tempat-nya di dalam manusia diwakili oleh hidup (urip).  Secara lisan dokter soerono menerangkan bahwa jiwa manusia adalah pletikan (bunga api) dari tuhan Allah. Keterangan lebih lanjut tentang tuhan tidak diberikan. Oleh karena itu, ajaran tentang Allah ini lebih lanjut juga tidak akan kita bicarakan.

Ajaran Sumarah tentang Manusia

Menurut Sumarah, manusia terdiri dari badan wadag (jasmani), badan nafsu, dan jiwa atau roh.
Badan wadag atau jasmani berasal dari substansi yang berasal dari anasir: bumi, angin, air, dan api. Jika orang meninggal dunia, badan wadagnya dikubur atau dibakar, sehingga dengan cara itu badan wadag tadi dikembalikan kepada asalnya.  Badan wadag dilengkapi dengan bermacam-macam alat, yaitu pancaindra, yang dikuasai oleh pemikir (kecakapan berpikir). Pemikir ini hanya bersangkutan dengan segala perkara duniawi, yaitu mencakapkan orang untuk mendapatkan segala macam pengetahuan dan pengalaman hidup. Alat yang erat sekali hubungannya dengan pemikir adalah angan-angan. Di dalam hidup sehari-hari, keduanya yaitu pemikir dan angan-angan, bekerja sam secara erat sekali. Apa yang ditangkap oleh pemikir diteruskan kepada angan-angan, untuk disimpan dengan baik. Angan-angan juga menjadi alat untuk bersujud atau bersekutu dengan tuhan Allah.
Badan nafsu berasal dari Allah dengan perantara iblis dan akan dikembalikan kepada asalnya juga. Ada empat nafsu, yaitu mutma’inah, sumber segala perbuatan yang baik dan sumber semangat mencari Allah, ammarah, yaitu sumber kemarahan, suwiyyah sifat erotis dan lawwamah, yaitu sifat mementingkan diri sendiri. Pusat segala nafsu ini disebut suksma, yang harus dibedakan dari jiwa, yaitu jiwa manusia yang tak berjasad. Daya pendorong atau pusat dari pemikir, angan-angan, nafsu dan suksma disebut nyawa, yaitu jiwa yang psikologis yang juga harus dibedakan dari jiwa sebagai bagian hidup manusia yang tak berjasad. Sebab jiwa yang tak berjasad ini tidak tergolong badan wadag, tetapi termasuk alam gaib.
Jiwa dan roh adalah bagian ketiga dari manusia, yang berasal dari roh suci atau dari Allah, dan yang akan dikembalikan lagi kepada asalnya jika orang dapat mati dengan sempurna.  Bagian manusia erat sekali hubungannya dengan jiwa adalah rasa, yang harus dibedakan dari perasaan sebagai alat pengindraan. Rasa ini terdapat di dalam sanubari, yang letaknya kira-kira di dada dan yang termasuk dunia bayangan.
Badan wadag dan badan nafsu termasuk dunia yang tampak ini, tetapi jiwa dan rasa termasuk alam gaib, yang dianggap lebih luas daripada dunia yang tampak ini, serta yang meliputi badan wadag dengan segala alat-alatnya.
Selain itu masih ada alam yang lebih luas lagi daripada alam gaib tersebut, bahkan dapat dianggap sebagai alam yang terluas, yang meliputi alam wadag dan alam gaib tadi, yaitu alam tempat qolbu  (hati). Alam ini juga alam bayangan, dan terletak kira-kira di dalam jantung.  Di dalam qolbu  terdapat Masjidilkharom (Masjid al-Haram), atau masjid yang kudus, tempat Baittullah atau rumah Allah. Di dalam Baitullah terdapat budi, nur  dan urip (hidup).
Jika dirangkumkan, dapat dikatakan bahwa menurut paguyuban Sumarah manusia dengan peralatannya yang jasmani dan yang rohani itu ditempatkan pada tiga alam, yaitu:
  1. Alam yang tampak ini, tempat badan wadag atau badan jasmani dengan peralatannya yaitu pemikir, yang menguasai pancaindra, angan-angan, yang memiliki dua fungsi, yaitu menyimpan dengan baik apa yang diterimanya dari pemikir, dan menjadi alat bersujud (bersekutu dengan Allah). Selanjutnya ada suksma, yang menguasai segala nafsu dan nyawa, yang menjadi pendorong pemikir, angan-angan dan suksma.
  2. Alam gaib, yang pada manusia kira-kira terdapat di dalam sanubari, dan yang menaruh di dalamnya qolbu , masjidilkharom, baitullah, budi, nur , dan urip.
  3. Alam gaib yang lebih luas lagi, yang ada pada manusia kira-kira terdapat di dalam jantung, dan yang menaruh di dalamnya qolbu , masjidilkharom, baitullah, budi, nur  dan urip.

Di dalam hidup sehari-hari, keaktifan tubuh dengan segala peralatannya dapat digambarkan sebagai sebuah negara dengan segala alat pemerintahannya yang lengkap. Jiwa berfungsi sebagai kabinetnya. Dewan perwakilan terdiri dari para pengikut malaikat jibrail dan ijajil. Jantung berfungsi sebagai kantor pusat pemerintahan. Melalui pembuluh darah, kantor pusat itu mempunyai hubungan dengan seluruh bagian negara. Otak berfungsi sebagai kantor pusat telekomunikasi, sedang hati berfungsi sebagai kantor distribusi. Perut berfungsi sebagai pabrik bagi segala macam makanan dan lain sebagainya. Pada segala pembuluh darah dan bagiannya ada lalu-lintas yang ramai sekali. Di situ terdapat banyak sel darah yang berfungsi sebagai pegawai negeri dan sel darah putih yang berfungsi sebagai angkatan bersenjata, polisi, dan lain sebagainya.
Jiwa, sekalipun berfungsi sebagai kepala negara, tetapi tidak berkuasa di dalam pemerintahanya, sebab ia hanya menjadi simbol, perdana menterilah yang memegang kuasa, yaitu salah seorang dari keempat menteri atau keempat nafsu itu. Jika umpamanya ammarah yang menjadi perdana menteri, orang menjadi kejam, kasar dan pemarah. Sebaliknya, jika mutma’inah yang menjadi perdana menteri, orang akan memiliki watak yang baik. Bagi manusia pada umumnya, bentuk pemerintahan hidupnya adalah kabinet parlementer.  Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa di dalam hidup sehari-hari manusia menjadi permainan hawa nafsunya. Ia berada di dalam sengsara (samsara bagi orang Hindu).
Segala nafsu itu mengakibatkan manusia terikat pada kelahiran kembali (reinkarnasi). Kelahiran kembali ini diterangkan sebagai berikut: jika orang mati, padahal ia tak mendapat kelepasan, jiwanya mengembara sebagai roh yang dibebani oleh nafsunya. Sebagai roh ia tidak mungkin dapat melepaskan diri dari nafsunya itu. Maka, roh yang mengembara demikian itu senantiasa tertarik pada hidup duniawi. Seandainya roh yang sedang mengembara itu menjumpai dua sejoli yang sedang berkasih-kasihan, ia segera tertarik untuk masuk ke dalam kandungan wanita yang sedang berkasih-kasihan itu, serta mencampurkan diri dengan persatuan sperma dan sel telur kedua sejoli itu. Dengan cara demikian, orang dilahirkan kembali.
Apa yang disebut “manusia pertama” adalah manusia yang adanya di dunia bukan karena dilahirkan kembali. Adam dan hawa harus dipandang bukan sebagai benar-benar manusia, sebab mereka adalah roh suci yang berasal dari Dzat Yang Mahaesa, dan badan nafsu yang berasal dari iblis. Keduanya berada di firdaus, yang menurut paguyuban Sumarah, harus diartikan sebagai alam suci.  Godaan iblis dengan bentuk ular harus ditafsirkan sebagai godaan badan nafsu kepada roh suci untuk bersekutu dengannya. Ketika godaan itu berhasil, keduanya, yaitu adam dan hawa (roh suci dan badan nafsu), harus meninggalkan alam suci dan masuk ke dalam kandungan wanita yang sedang berkasih-kasihan. Adam dan hawa sesudah diusir dari firdaus tahu bahwa mereka telanjang sebagai orang lelaki dan perempuan, berarti bahwa baru sesudah bayi dilahirkan, orang dapat mengetahui apakah bayi itu lelaki atau perempuan.
Demikianlah, manusia itu berada di dalam sengsara. Tetapi paguyuban Sumarah tidak memberi keterangan, apa sebab manusia berada di dalam sengsara. Hal ini mengherankan sekali, sebab jiwa itu dipandang sebagai berasal dari Dzat Yang Mutlak.
Tentang urip (hidup) diterangkan bahwa urip itu mewakili Dzat Yang Mutlak, dan bahwa urip itu satu.  Selanjutnya diterangkan bahwa hidup manusia adalah sama dengan hidup binatang dan tumbuh-tumbuhan, dan bahwa hidup adalah zat yang tertua yang ada. Hidup sudah ada sebelum sesuatu yang lain ada. Hidup adalah unsur yang terpenting di dalam keadaan suatu makhluk. Tetapi manusia bukan hanya memerlukan hidup saja, ia memerlukan hal yang lain juga. Untuk dapat melangsungkan hidupnya manusia perlu memiliki urip, nyawa, dan jiwa. Hidup sudah ada pada sperma dan sel telur manusia. Tetapi nyawa berada segera sesudah sperma dan sel telur bersatu di dalam persetubuhan. Sebagai pelengkap terakhir ditambahkan lagi jiwa. Demikianlah pelangsungan hidup manusia.
Akhirnya, ajaran Sumarah tentang manusia dapat disimpulkan demikian:
  1. Oleh karena jiwa manusia dipandang sebagai roh suci yang berasal dari Allah, dan sebagai pletikan (bunga api) dari Allah, maka agaknya tidak jauh dari kebenaran, jika kita simpulkan, bahwa menurut Sumarah, manusia adalah sehakikat dengan Allah.
  2. Di dalam urip, Dzat Yang Mutlak atau Allah berada di dalam manusia dan di dalam tiap makhluk yang hidup
  3. Di dalam hidup sehari-hari manusia menjadi permainan nafsunya, yang menjadikan dia ditaklukan pada kelahiran kembali. Penyebab manusia menjadi permainan nafsunya mungkin terletak pada peristiwa, bahwa roh suci, yang menjadi hakikat yang terdalam dari manusia, tidak berhasil untuk menolak godaan nafsu, sehingga roh suci bersekutu dengan nafsu. 

Ajaran Sumarah tentang Kelepasan

Sudah diterangkan di atas bahwa hidup manusia sehari-hari dapat diumpamakan dengan sebuah negara yang diperintahkan dengan sistem pemerintahan kabinet parlementer, di mana jiwa berfungsi hanya sebagai simbol.
Dengan perantara sujud, yaitu persekutuan dengan Allah, paguyuban Sumarah berusaha untuk mengubah sistem pemerintahan kabinet parlementer itu menjadi sistem kabinet presidensiil. Dengan ini jiwa tidak hanya berfungsi sebagai simbol saja, tetapi jiwa juga akan dapat menguasai para nafsunya sedemikian rupa, hingga para nafsu itu sebagai menteri, tidak akan dapat berbuat sesuka hati, tetapi akan tunduk kepada jiwa.
Alat terpenting untuk melakukan sujud adalah angan-angan. Agar angan-angan dapat digunakan sebagai alat sujud, harus dipisahkan dari pemikir, angan-angan itu harus diturunkan dari otak ke sanubari dan dipusatkan di situ sedemikian rupa hingga angan-angan itu tak dapat lagi dipakai untuk berpikir. Tindakan ini dapat dibantu dengan melakukan zikir, yaitu mengajikan nama-nama Allah. Inilah tingkatan pertama dari sujud yang disebut sujud raga (persekutuan dengan Allah melalui perantaraan badan wadag). Disebut demikian karena angan-angan di sini mewakiliki pancaindra atau badan wadag.
Tingkatan kedua dari sujud disebut sujud jiwa-raga. Pada tingkatan ini angan-angan yang sudah dipisahkan dari pemikir, dan yang sudah diturunkan ke sanubari tadi didekatkan kepada rasa, yang berada di dalam dada, sehingga keduanya, angan-angan dan rasa, dapat melakukan sujud berdampingan. Rasa di sini menjadi wakil jiwa. Itulah sebabnya maka taraf sujud ini disebut sujud jiwa-raga. Taraf ini adalah kunci pertama bagi sujud Sumarah (persekutuan dengan Allah melalui penyerahan diri). Tanpa mengalami ini tak mungkin ada orang yang dapat mencapai tujuannya.
Jika taraf sujud ini sudah dilakukan untuk beberapa waktu, ada kemungkinan bahwa orang menerima sabda tuhan (dawuh) secara hakiki, yaitu suatu cetusan suara yang mendadat bagai petir. Jika orang sudah mencapai taraf ini, orang harus berhati-hati sekali, sebab di sini ada bahaya ditupu oleh iblis.
Jika taraf kedua dari sujud ini sudah diulangi setiap hari, di rumah atau di kantor, pada waktu orang sedang bekerja, jadi bukan hanya jika waktu latihan sujud, melainkan setiap saat, orang akan menjadi biasa melakukan sujud itu. Dengan cara demikian, angan-angan menjadi satu dengan rasa, sehingga tak akan kembali lagi kepada tempatnya semula. Jika taraf ini tercapai, maka di dalam sanubari orang itu akan terdapat sujud yang tetap. Inilah taraf ketiga, yang disebut tetap iman. Hal ini berarti bahwa orang sudah dapat secara terus-menerus melakukan sujud tanpa berhenti selama dua puluh empat jam. Pada taraf ini orang dapat menerima sabda Allah tanpa batas waktu, tempat dan keadaan.
Untuk dapat mengerti akan keterangan ini orang harus senantiasa ingat bahwa sujud bagi paguyuban Sumarah bukanlah upacara berbakti kepada tuhan, melainkan “persekutuan dengan Tuhan.” Bersujud selama 24 jam berarti terus-menerus di dalam keadaan bersekutu dengan tuhan. Pada suatu pertemuan umum diterangkan bahwa hal sujud itu sama dengan hal orang naik sepeda. Jika orang baru mulai belajar naik sepeda, orang harus memperhatikan segala gerak badan, kaki serta tangannya, sehingga tidak ada waktu baginya untuk memperhatikan hal yang lain. Tetapi jika orang sudah pandai naik sepeda, orang tidak lagi harus memusatkan perhatiannya pada gerak seluruh badannya. Ia dapat naik sepeda sambil merokok, menyanyi, dan sebagainya. Demikian juga halnya dengan sujud. Jika sujud sudah menjadi seolah-olah pakaiannya, maka orang dapat bersujud sambil merokok, minum, makan, tidur, dan sebagainya. Artinya, di dalam keadaan yang bagaimanapun orang itu tetap di dalam persekutuan dengan Allah.
Ciri lain dari tetap iman ialah bahwa sujud raga secara terus-menerus sudah diwakili oleh angan-angan yang menjadi satu dengan rasa. Perwakilan ini terjadi sedemikian rupa, hingga badan wadag dengan indranya dapat tetap berfungsi biasa, sekalipun orang sedang bersujud.
Taraf berikutnya adalah taraf yang tertinggi, di mana orang mencapai jumbuhing kawula-gusti (persekutuan hamba dan tuhan). Ini tidak berarti bahwa jia manusia dilarutkan ke dalam Allah, melainkan bahwa antara Allah dan jiwa ada kesatuan kehendak. Inilah sujud di dalam hidup, sebab orang masih hidup di dalam dunia ini.
Tak ada seorang pun yang dapat berusaha untuk mencapai taraf ini. Sebab ini adalah suatu anugerah Dzat Yang Mahaesa, yang diangerahkan dengan tiba-tiba. Bagi mereka yang mendapat anugerah ini dengan tiba-tiba ada rasa bahwa sujudnya sudah dipindahkan dari sanubari ke dalam jantung, tempat qolbu . Rasa sujud akan terasa untuk sementara waktu saja, lalu lenyap hingga tak terasa apa-apa lagi. Apa sebab rasa sujud itu lenyap, diterangkan sebagai berikut. Keduanya, yaitu hamba dan tuhan, sudah menjadi satu. Maka dengan sendirinya tidak ada lagi pihak yang bersujud dan pihak yang disujudi. Inilah yang disebut “jumbuhing kawul-gusti” atau dengan istilah paguyuban Sumarah: gambuh.
Oleh sebab itu, orang yang dapat sujud Sumarah, yaitu sujud dengan penyerahan diri adalah orang yang kenyataannya justru tidak merasa bersujud lagi, sebab sujudnya sudah menjelma di dalam dirinya sendiri, atau ia sudah menjadi satu dengan tuhan, gambuh. Agar dapat mencapai sujud Sumarah itu orang harus melakukan tiga dalil Sumarah, yaitu tidak berbuat apa-apa, tidak mempunyai apa-apa, dan menyerahkan jiwa raga.
Tidak dapat berbuat apa-apa berarti bahwa orang harus meyakinkan diri bahwa ia tak dapat berbuat apa-apa, kecuali karena kehendak Allah. Maka anggota paguyuban Sumarah tidak boleh berlagak seolah-olah ia dapat berbuat ini dan itu, bahwa ia lebih pandai daripada orang lain, mendaku sesuatu sebagai miliknya sendiri, kumingsun, artinya menganggap dirinya sebagai ingsun (orang yang penting sekali, dsb.). sebab semua itu adalah akibat dari orang yang menganggap dirinya sebagai orang yang dapat melakukan segala sesuatu. Tiap orang yang sudah menjalankan dalil pertama ini akan dapat memecahkan segala kesukaran yang dihadapinya dengan menyerahkan diri kepada Allah.
Dalil yang kedua, yaitu tidak mempunyai apa-apa, memiliki arti yang sama dengan ucapan jawa: sepi ing pamrih, rame ing gawe (tanpa bermaksud untuk menguntungkan diri, beramai-ramai bekerja). Segala sesuatu adalah milik Tuhan, sekalipun tubuh dan jiwa orang. Semuanya itu dipinjamkan kepada manusia, maka jika ada yang hilang atau dicuri orang, hal itu harus dipandang sebagai petunjuk bahwa waktu peminjaman sudah selesai, sehingga barang itu perlu diberikan kepada orang lain sebagai pinjaman juga. Dengan keyakinan yang demikian ini orang tak mungkin kecewa, dan segala peristiwa akan diterimanya dengan senang hati.
Dalil ketiga, yaitu menyerahkan jiwa-raga, adalah lanjutan dari dalil kedua.
Bersamaan dengan pelaksanaan ketiga dalil tersebut di atas, orang akan mengalami di dalam batinnya suatu proses yang semakin menghampiri persekutuan jiwa dengan yang mahaesa, yang ternyata dari kejadian, bahwa ia menerima sabda Allah. Semula sabda itu diterimanya dengan perantara rasa, sesudah itu dengan adanya suara di dalam batinnya, dan akhirnya ia akan menerima sabda itu dengan perantara mulut atau alat lainnya. Inilah yang disebut “wajibul wujud,” yaitu mengetahui apa saja tanpa dawuh (pemberitahuan).
Pada taraf yang tertinggi dari kelepasan ini perselisihan antara jiwa dan suksma makin menghebat. Dalam perselisihan ini jiwa didampingi oleh malaikat jibrail, sedang suksma didampingi oleh iblis. Jika jiwa menang di dalam perselisihan ini, maka orang lulus dari ujian Sumarah, dan malaikat jibrail akan tetap mendampinginya. Sebaliknya, jika suksma yang menang, orang akan jatuh ke dalam genggaman iblis, dan akan sukar baginya untuk melepaskan diri darinya. Mungkin ia akan menjadi dukun yang mahsyur (prewangan), tetapi kemahsyurannya itu hanya mengenai perkara duniawi. Jika ia meninggal dunia, ia akan menyesal. Maka taraf yang tertinggi ini adalah taraf yang berbahaya sekali.
Hasil persekutuan hamba dan tuhan ini adalah tidak dapat dikalahkan oleh siapapun, bagaimanapun berkuasanya musuh. Tak ada senjata yang dapat melukainya.
Dari apa yang sudah dibicarakan di atas, dapat diambil kesimpulan demikian:
  1. Kelepasan bagi paguyuban Sumarah terdiri dari jumbuhing kawula-gusti sedemikian rupa, hingga kesadaran akan adanya persekutuan itu lenyap (tak ada yang bersujud dan yang disujudi). Orang yang lepas berada di dalam situasi terus-menerus bersekutu dengan Allah, sehingga segala sesuatu yang dilakukannya di dalam persekutuan Allah. Tak jauhlah kiranya dari kebenaran , jika disebutkan, bahwa situasi ini sama dengan apa yang di dalam tasawuf disebut fana al-fana, hapus dari segala hapus, di mana hapuslah yang menyembah dan yang disembah.
  2. Hasil kelepasan itu ialah bahwa orang mendapatkan sifat yang sama dengan Dzat Yang Mahaesa, umpamanya: berada di mana-mana, mahakuasa, dan lain sebagainya.
  3. Jalan kelepasan adalah sujud, yang puncaknya disebut sujud Sumarah, yaitu persekutuan dengan Allah dengan penyerahan diri. Sujud terdiri dari beberapa tingkat yang dalam pokoknya terdiri dari penyatuan angan-angan dengan urip (hidup) di dalam batin manusia, dengan memisahkan angan-angan tadi dari pemikir dan mempersekutukannya dengan rasa dan akhirnya memimpinnya kepada urip. Perbuatan ini sebenarnya adalah pemusatan pikiran ke dalam diri manusia sendiri, agar tidak diganggu oleh dunia yang ramai ini.
Kesimpulan dari keseluruhan paguyuban Sumarah dapat dirumuskan demikian:
  1. Tidak ada uraian yang panjang mengenai ajaran Allah. Tuhan Allah disebut Dzat Yang Mahaesa. Di dalam urip, tuhan Allah berada di dalam segala makhluk yang hidup, umpamanya: tumbuhan-tumbuhan, binatang dan manusia. Oleh karena itu, maka dapat dikatakan bahwa tuhan Allah dipandang sebagai Dzat Yang Mutlak. Dalam falsafah dikatakan bahwa tuhan bebas dari segala hubungan, nisbah serta sebab-musabab, tetapi menjadi sebab pertama dari segala sesuatu.
  2. Manusia pada hakikatnya berasal dari tuhan Allah, jiwanya, yang menjadi inti manusia adalah roh suci, dan suatu pletikan (bunga api) dari Dzat Yang Mahaesa itu. Hal ini berarti bahwa manusia pada hakikatnya sama dengan Allah, seperti bunga api sehakikat dengan api.
  3. Karena menjawab penggodaan para nafsu, roh suci dipersatukan dengan para nafsu itu. Karenanya ia menjadi permainan segala nafsunya. Di dalam hidup sehari-hari jiwa bukanlah yang merajainya, yang menentukan segala sesuatu, melainkan hanya berfungsi sebagai simbol kepala negara, yang tak bersuara. Demikianlah, manusia berada di dalam sengsara.
  4. Oleh  karena manusia berada di dalam sengsara, maka ia ditaklukan pada kelahiran kembali (reinkarnasi)
  5. Kelepasan terdiri dari kelepasan jiwa dari siksaan segala nafsunya, untuk dipersatukan kembali dengan Dzat Yang Mahaesa, sebagai asalnya. Persekutuan ini sedemikian rupa, hingga tidak ada lagi perbedaan antara yang bersujud dan yang disujudi. Tetapi, selama manusia masih hidup, persekutuan ini bukan berarti manusia menjadi Allah. Persekutuan itu adalah persekutuan dalam kehendak, sehingga manusia juga memiliki segala sifat ilahi, seperti mahatahu, mahakuasa, dan lain sebagainya.
  6. Jalan kelepasan adalah sujud, yaitu pemusatan angan-angan, untuk diarahkan ke dalam diri manusia sendiri, dan dipalingkan dari dunia luar. Di dalam bagian yang terdalam dari manusia itu angan-angan akan bertemu dengan tuhannya, yang ada di dalam dirinya sendiri.

Sujud Sumarah

Sujud Sumarah adalah bentuk perilaku peribadatan (ritual) bagi para warga Paguyuban Sumarah dalam rangka berkomunikasi dengan Tuhan YME yang pada hakekatnya merupakan aktivitas batin/rohani/spiritual/jiwa si manusia untuk bermohon, menghaturkan bakti/sembah, menghaturkan puja dan puji serta serah diri total kepada Tuhan Yang Mahaesa, melalui kehendak dan tuntunan/bimbingan Tuhan YME sendiri.
Karena sifatnya yang sangat spiritual (rohani) maka dalam pelaksanaannya Sujud Sumarah sama sekali tidak memerlukan persyaratan lahiriah baik tempat, waktu, pakaian, bebauan, gerakan-gerakan khusus ataupun persyaratan lain, seperti hafalan mantra dan sebagainya. Namun tentu saja sebagai manusia yang berbudaya, dalam berbusana maupun sikap tata lahir dalam sujud akan selalu mengikuti norma kewajaran dan kepantasan demikian pula akan selalu memperhatikan norma-norma sosial dan etika yang berlaku di sekelilingnya tanpa harus menonjolkan dirinya.
Sujud Sumarah memiliki jenjang atau tingkatan yang harus dilakukan oleh para pengikut secara bertahap. Adapun tingkatan tersebut adalah :
  1. Tingkat pamagang, yaitu sujud yang dilakukan oleh para pemula sebelum resmi menjadi anggota, untuk menenangkan panca indra.
  2. Tingkat satu, sujud ini merupakan sujud awal yang dilakukan oleh pengikut Sumarah setelah resmi dibaiat mengadi anggoata.
  3. Tingkat dua, dilakukan setelah mahir pada sujud satu.
  4. Tingkat tiga, dilakukan setelah mahir dalam sujud kedua.
  5. Tingkat keempat, dilakukan setelah anggoat mahir sujud tingkat tiga.
  6. Tingkat lima, sebagai tingkat paling akhir yang langsung dibimbing dan diimami oleh pemimpin (guru utama).
Dari jenjang atau tingkat sujud itu, para pengikut Sumarah dapat dikelompokkan dalam tiga martabat. Pertama. Martabat Tekad, yaitu martabatnya para pemagang, tingkat satu dan tingkat dua. Kedua, Martabat Imam, yaitu para pengikut yang sudah memasuki tingkat sujud tiga dan empat. Ketiga, Martabat Sumarah, yaitu mereka yang sudah memasuki tingka sujud kelima.

Makalah tentang Paguyuban Sumarah dapat diunduh di sini.

Next
This is the most recent post.
Posting Lama
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Paguyuban Sumarah Rating: 5 Reviewed By: Unknown